Lencana Facebook

11 April 2009

Berdongeng dan Bernostalgia

Judul Buku: Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: Januari 2004
Tebal: 406 hlm

Menurut ahli sastra pragmatikus seperti Horace, secara umum karya sastra mempunyai fungsi dulce et utile, indah (dapat dinikmati) dan berguna. Dalam karya sastra fungsi itu bisa berimbang, mempunyai keindahan dalam karya dan juga berguna bagi penikmat sastra. Meskipun itu terlihat sulit dicapai. Busa juga dalam karya sastra, fungsi yang satu lebih dominan daripada yang lain. Jadi ada fiksi yang menarik untuk dibaca karena mempunyai kelebihan keindahan dalam penyajiannya daripada gunanya, dan ada pula yang mempunyai nilai lebih karena isinya ketimbang penyajiannya. Yang harus dicatat: tak semua karya sastra mempunyai fungsi berimbang—mungkin sulit ditemukan—. Meski keberimbangan kedua funsi tersbut menjadi harga atas bernilainya sebuah karya sastra.Beberapa tahun belakangan ini kalangan akademisi di Indonesia tidak perlu khawatir jika harus bicara atau menulis soal karya sastra yang mempunyai nilai keindahan dan manfaat. Cukup banyak sastrawan kita dari yang sudah lama berkecimpung dalam sastra sampai yang pendatang bau. Yang cukup menarik perhatian kita adalah munculnya dua karya sastra yang menurut penilaian saya mempunyai fungsi dulce et utile, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazi. Andrea Hirata memberikan keindahan kata-kata yang mampu membangkitak semangat intelektualitas pemabaca dalam novelnya. Begitu juga Kang Abik (panggilan untuk Habiburrahman El-Shirazi) yang dengan untaian kata-kata puitis dan gaya ceritanya yang mudah dicerna mampu memberikan suatu amanat keagamaan bagi kita sebagai pembaca. Bila kita menoleh kebelakang lalu melihat adakah karya sastra yang seperti itu (indah dan bermanfaat-pen) maka kita akan mengalihkan perhatian kita pada sosok Ahmad Tohari dengan Novel fenomenalnya Ronggeng Dukuh Paruk (yang selanjutnya disingkat RDP). Novel yang memperlihatkan sinergisitas antara jiwa dan alam yang masih terus terjalin dan terasa samapi hari ini, dua puluh tahun sejak pertama kali diterbitkan oleh Gramedi Pustaka Utama. RDP sebenarnya berbentuk trilogy yang terdiri dari RDP (Catatan Buat Emak), Lintang kemukus Dini Hari, Jentara Bianglala. Penyatuan ketiganya dilakukan pertama kali pada tahun 2003, juga oleh Gramedia Pustaka Utama dengan memasukkaj kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun (sampul belakang), atau karena dianggap mengandung mautan-muatan sejarah yang menyinggung pihak penguasa Orde Baru pada saat itu.Mulai dari RDP (Catatan Buat Emak) sampai Jentara bianglala tidak akan dikemukakan sebuah kritik menurut pengertian umum, seperti yang dikatakan Rachmat Djoko Pradopo dalam Kritik Sastra Indinesia Modern (1988) yang menyatakan bahwa kritik sastra ialah pertimbangan baik buruknya karya sastra. Namun, kritik menurut pengertian Plato: kritik sebagai sebuah pujian (427-347 SM). Juga kririk sastra yang terpenting ialah analisis. Ini sesuai dengan pendapat H.B. Jassin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1965) bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberi alasan mengenai isi dan bentuknya.Kritik sebagai sebuah pujian, tentunya akan memperlihatkan RDP karya Ahmad Tohari dalam keunggulannya menuangkan penyajian yang menarik serta memberikan manfaat bagi kita. Keunggulan dalam memiliki fungsi keindahan dan manfaat. Sudah dari halaman pertama novel ini kita akan diyakinkan oleh ulasan dan komentar beberapa tokoh. Sebut saja Sapardi Djoko Damono yang menyatakan keunggulan dan keluarbiasaan novel ini, penggunaan tokoh-tokoh yang terdiri atas orang-orang desa dengan penggambaran yang menarik sampai kelancaran Ahmada Tohari dalam mendongeng. Sayangnya, tidak ada yang mengomentari mengenai adanya manfaat yang bisa dipetik atau diambil sebagai pelajaran dari novel ini. Mengapa sesuatu yang berkaitan dengan fungsi sastra hanya dianggap (minimal dijelaskan adanya manfaat pada novel ini) mempunyai satu fungsi saja, indah atau bisa dinikmati saja? Alasannya singkat tapi padat, indah dan berguna adalah fungsi sastra secara umum. Setidaknya keduanya tidak bisa dipisahkan dalam jarak yang jauh dalam karya sastra.Trilogi Ahmad Tohari yang dianggap sebagai karya terbaiknya, menarik karena isi dan penyajiannya, sekaligus kuat dalam dulce et utile. Salah satu yang menarik dari trilogi adalah isinya yang bersifat mendongeng dan ensiklopedis.Dongeng Segala UmurRDP memang bukan sebuah dongeng ala Bawang Merah dan Bawang Putih yang ditutup dengan kebahagiaan bagi satu pihak dan kesengsaraan bagi pihak yang lain. Novel ini pun bukan sekadar dongeng yang hanya bisa dikonsumsi bagi anak kecil, bahkan novel ini menjadi dongeng bagi orang dewasa yang bisa dinikmati juga oleh anak-anak. Bentuk ceritanya yang mendongeng sehingga membuat kita merasa dibuat mengalir dan mengikuti gerak alur cerita ini. Suguhan yang pertama kali diberikan dalam novel ini adalah sebuah gambaran mengenai asrinya sebuah dukuh bernama Paruk.Keunggulannya dalam menyajikan sebuah cerita yang mungkin biasa, tapi sungguh sangat menarik. Gaya bahasa Tohari dalam novel ini sangant pandai dalam menceritakan bagaimana keadaan dukuh paruk secara detail. Tohari menceritakan dengan detail bahwa terdapat dua pulu tiga rumah berada di pedukuhan itu dan dihuni oleh orang-orang seketurunan. Dukuh Paruk yang menyendiri dan kecil. Dukuh dengan daerah terdekatnya hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya (hlm 10). Bukan hanya dari segi cerita yang detail, deskriptif dan naratif saja, namun juga Ahmad Tohari masih mampu menjaga kesantunan dalam bercerita mengenai ronggeng. Sebuah stereotype jelek yang ada di kepala kita tentang ronggeng dari seorang wanita yang selalu berhubungan dengan pelacur desa. Bahkan dalam novel cetakan terbaru yang menampilkan beberapa bagian yang dulu tersensor, bahasa yang digunakan bukanlah bahasa ‘kacangan’. Meski dunia ronggeng tak bisa dipisahkan antara uang dan laki-laki, tetapi jangan mengharapkan kita akan menemukan penggunaan metafora yang sarat penyamaran nama-nama sexual. Dalam menceritakan Srintil pun, Tohari tidak menggambarkan Srintil dengan pelacur. Justru Srintil digambarkan sebagai wanita yang mengerti tentang kebersahajaan menghadapi lelaki. Tohari menyelimutinya dengan bahasa yang enak untuk dibaca dan bahkan kalau dibacakan oleh orang lain. Kesantunan yang tak lepas dari sebuah dongeng dan mendongeng.Masih mengenai gaya bahasa Tohari yang mendongeng, benarlah komentar yang disampaikan oleh Sapardi Djoko Damono di awal buku ini. Bahasa Tohari adalah bahasa dongeng. Dongeng yang lebih dikenal dalam cerita anak-anak, kali ini dongeng untuk dewasa yang masih bisa dinikmati untuk anak-anak. Tohari mendongeng dalam bentuk novel, novel RDP dengan menggunakan bahasa yang membuktikan kelekatan dan kedekatannya dengan alam. Kehalusan budinya yang peka unutuk melihat kondisi social yang ada disekitarnya lebih dekat.Dongeng dengan sebuah pengenalan. Pengenalan akan nama-nama hewan dan tumbuhan, yang mungkin anak-anak atau orang dewasa saat ini tak akan dapat untuk menemuinya bhakan unutuk sekadar membayangkan bentuknya sudah sulit. Penyebutan nama hewan dan tumbuhan, gambaran suasana alam, ditambah dengan kemampun Tohari dalam membalut sebuah cerita mengukuhkan dirinya seniman dongeng modern. Ia menggambarkan dengan sangat menyentuh bagaimana pohon dadap dan randu berkembang biak menurut hukum alam. Ia membawa kita menyaksikan dari dekat bahkan seakan-akan kita melihatnya langsung bagaimana bangau, pipit, burung hantu, alap-alap hingga kumbang tahi menjalankan suasana hidup. Kemiskinan dukuh paruk digambarkan dengan bahasa yang memelas agar kita merasakan suasana yang terjadi. Ketandusan dan keterbatasan Dukuh Paruk digambarkan dengan hal-hal sepele yang menjadi sumber pengdidupan mereka. Dari tempe bongkrek yang menjadi makanan bagi warga dukuh paruk juga makanan yang telah membuat yatim piatu Srintil. Bongkrek yang telah membuat Rasus menacro sosok ibunya dari menganggapnya ibunya ada di sosok srintil sampai ketidakjelasan keberadaan ibunya. Juga bongkrek yang sudah menyebabkan sepuluh warga dukuh paruk mati keracuan akibat tempe buatan ayah srintil. Semua yang remeh itu digamarkannya dengan lugas.Sentilan moral turut masuk dalam RDP, sentilan yang sebenarnya tetap menyentil atau mengena hingga sampai saat ini. Ia menggambarkan keberadaan Dukuh Paruk yang terisolisasi dari dunia luar. Keberadaan kemiskinan di tengah kekayaan yang menjulang. Satu hal yang masih relevan hingga saat ini karena itu adalah wajah kita, wajah Indonesia. Semau yang terjadi di Duku Paruk, dari kekeringan, keterbelakangan, kebodohan hingga kemalasan adalah potret, terutama mereka yang ada di pedesaan. Tohari sedang mendongengkan cerita yang sarat pelajaran bagi kita.NostalgiaRDP mengajak kita yang merasakan bagaimana suasana Indonesai pada tahun 1965 kembali memutar memori otak kita untuk kilas balik, apa yang ada dan terjadi saat itu? Mereka yang pada tahun itu merasakan adanya pemberontakan dimana-mana, pembunuhan jenderal, semua hal-hal yang menakutkan kembali teringat. Mereka yang tak mengetahuinya diberikan sebuah pelajaran sejarah tentang sedikit kecil keadaan Indonesai pada tahun 1965. Sebuah fitnah revolusi yang sedang berkumandang dimana-mana, bhakan sampai melibatkan seorang ronggeng yang tak mengerti apa-apa. Kisah dukuh paruk mengajak kita bernostalgia atau mungkin sekadar untuk jangan melupakan sejarah.Dari dukuh paruk pula, hati-hati yang rindu akan keasrian alam, keindahan sebuah desa, diceritakan dengan bagusnya oleh Tohari. Semua ceritanya membuat kita mengtahui bahwa ada pohon yang bernama dadap, alap-alap, atau mengingat kembali bagaimana bentuknya kareda dulu kita pernah menjumpainya. Dukuh paruk mengajak kita ke dunia baru. Dunia yang tidak pernah didatangi atau dunia yang sudah lama ditinggal.